Ketua Sinode GKI Pemimpin Damai Yang Hadir Di Tengah Gejolak Papua
Pada
21 Sep, 2025
Peristiwa unjuk rasa pada tanggal 17 September 2025 yang berlangsung di Jayapura pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan momen krusial yang memperlihatkan bagaimana dinamika sosial-politik dapat memicu ketegangan di tengah masyarakat. Namun, di tengah gejolak tersebut, tampil sosok pemimpin Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua—Ketua Sinode GKI—yang mengambil langkah luar biasa dan layak diapresiasi secara nasional.
Dalam situasi yang penuh ketegangan, Ketua Sinode GKI tidak memilih untuk bersembunyi di balik tembok keamanan atau membatasi diri dengan protokol ketat. Sebaliknya, ia justru tampil di tengah massa, menyambut para demonstran dengan hati yang terbuka, keberanian, dan kasih yang tulus. Ia tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga secara spiritual dan psikologis. Beliau menjadi jembatan emosi dan aspirasi publik yang sedang berada di ambang ledakan sosial.
Mengelola aspirasi massa demonstran bukanlah perkara sederhana. Dibutuhkan prinsip kualitas utama sebagai seorang mediator publik:
1. Membuka Diri dan Menghadirkan Diri Secara Langsung,
2. Mendengar dengan hati tanpa penghakiman,
3. Menjadi Mediator Emosi Dan Arah Aksi,
4. Mengambil Peran Komunikatif Kepada Publik,
5. Mengutamakan Prinsip Injil Damai dan Keadilan.
6. Berani Mengambil Resiko Pribadi,
7. Membina Hubungan Baik Dengan Semua Pihak
8. Mengingatkan Kepada Semua Pihak Bahwa Tindakan Kita Dilihat Oleh Tuhan
Kedelapan unsur ini terwujud nyata dalam tindakan Ketua Sinode GKI pada hari itu. Beliau bukan hanya sekadar menjadi pemimpin formal gereja, tetapi menjelma sebagai figur moral dan spiritual yang mampu meredam gejolak sosial dengan pendekatan damai. Ia mengambil risiko besar, mengesampingkan kepentingan pribadi dan institusional demi menciptakan Papua yang damai.
Salah satu langkah paling cerdas dan brilian yang dilakukan oleh beliau adalah menjadikan aspirasi spontanitas para pendemo sebagai bahan komunikasi langsung kepada publik. Inilah bentuk mediasi sejati yang bukan hanya menenangkan massa, tetapi juga menyuarakan keresahan mereka dalam kerangka damai dan konstruktif. Hasilnya sangat jelas: tidak ada kerusuhan, tidak ada anarki, dan tidak ada korban jiwa. Jayapura tetap aman, Papua tetap damai.
Sangat jarang kita temui di negeri ini, ketika ada unjuk rasa, seorang pemimpin—apalagi pemimpin lembaga keagamaan—turun langsung tanpa pengawalan ketat, dan bahkan berdiri bersama massa. Biasanya, aspek keamanan menjadi prioritas utama. Namun dalam peristiwa ini, Ketua Sinode GKI melampaui standar kepemimpinan biasa, dan tampil sebagai simbol kedewasaan demokrasi yang penuh welas asih.
Sayangnya, di tengah keberhasilan tersebut, muncul berbagai narasi yang justru mencoba mendistorsi makna dari peristiwa damai ini. Media sosial dipenuhi oleh opini liar yang menyerang pribadi maupun institusi, tanpa memahami konteks dan risiko besar yang telah diambil demi mencegah pertumpahan darah dan kerusuhan yang lebih luas. Jika saja media sosial bisa hadir secara fisik, mungkin jumlahnya bahkan melebihi para pendemo itu sendiri.
Oleh karena itu, opini ini ditulis sebagai bentuk klarifikasi terbuka dan ajakan publik agar kita semua menjaga narasi damai, tidak justru memperkeruh suasana dengan komentar yang menyulut kembali emosi publik. Apa yang telah dicapai pada tanggal 17 September 2025 merupakan kemenangan moral bagi seluruh rakyat Papua—suatu contoh nyata bahwa damai bukan hanya mungkin, tetapi dapat dicapai dengan pendekatan yang manusiawi, spiritual, dan arif.
Beberapa pemikiran konstruktif berikut ini kiranya menjadi catatan penting bagi kita semua:
1. Ketua Sinode GKI layak disebut sebagai figur representatif perdamaian Papua, karena telah menunjukkan sikap arif dan bijaksana dalam mengakomodir aspirasi massa secara langsung dan terbuka.
2. Materi aspirasi spontan dari massa telah direspons secara spontan pula oleh Ketua Sinode dengan pendekatan yang menenangkan, sehingga massa membubarkan diri secara tertib.
3. Demo yang terjadi di lokasi yang “tidak biasa”—yakni di Kantor Sinode—justru menjadi momen penting yang meredam potensi anarki, yang sangat mungkin terjadi jika demo berlanjut ke kantor-kantor pemerintahan atau lembaga politik.
Demo bisa saja menjadi aksi destruktif, tetapi pada hari itu, berkat keberanian moral dan spiritual Ketua Sinode GKI, aksi tersebut justru menjadi momen konstruktif menuju Papua yang lebih damai. Kita semua patut belajar dari peristiwa ini bahwa damai bisa diraih, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan keberanian untuk hadir dan mendengar, seperti yang telah dilakukan oleh Ketua Sinode GKI.
Sudah saatnya kita mengangkat dan mengapresiasi figur-figur pemimpin yang berani mengambil resiko demi kebaikan bersama, bukan justru mencemooh dari balik layar media sosial. Mari kita viralkan bukan kebencian, tetapi "Papua Damai", sebagai wujud nyata dari harapan kita bersama akan masa depan tanah ini yang lebih baik, aman, dan sejahtera.