Opini (Habel Taime) Cukup Sudah Skema 80-20, Saatnya Dana Pensiun Penuh


Sistem dana pensiun adalah bagian penting dari perlindungan sosial yang menjamin kesejahteraan pekerja setelah mereka memasuki masa pensiun. Namun, dalam praktiknya, banyak perusahaan—termasuk yang berskala besar maupun kecil—masih menerapkan skema distribusi tidak adil, seperti pola 80-20, di mana:80% dana pensiun hanya dinikmati oleh 20% pekerja (biasanya dari kalangan manajemen atas atau pejabat perusahaan),Sementara 80% pekerja lainnya, yang sebagian besar berada di level operasional atau administratif, hanya mendapatkan bagian kecil dari total dana pensiun.

Skema seperti ini menciptakan ketimpangan yang tajam dan memperkuat ketidakadilan struktural dalam perusahaan. Padahal, seluruh karyawan—tanpa memandang posisi atau jabatan—telah berkontribusi terhadap pertumbuhan dan keuntungan perusahaan selama bertahun-tahun.Dan ini masalah. Pertama, Melanggar prinsip keadilan sosial: Setiap pekerja berhak atas perlindungan hari tua yang adil, bukan hanya mereka yang berada di posisi atas. Kedua, Menurunkan loyalitas dan moral kerja: Ketidakadilan dalam dana pensiun dapat menurunkan semangat kerja dan menimbulkan ketidakpuasan di kalangan karyawan. Ketiga, Meningkatkan risiko ketimpangan sosial setelah pensiun, di mana mayoritas pensiunan hidup dalam kesulitan finansial sementara segelintir menikmati pensiun yang sangat besar. Keempat, Melemahkan tujuan jangka panjang dari sistem pensiun, yaitu perlindungan yang berkelanjutan dan merata bagi seluruh pekerja.Oleh karena itu Setiap perusahaan, baik besar maupun kecil, tidak seharusnya menerapkan sistem pensiun dengan skema distribusi 80-20, karena bertentangan dengan prinsip keadilan, kesetaraan hak, dan keberlanjutan sistem jaminan sosial.

Skema pembagian dana pensiun 80-20 tidak adil dan tidak menjamin masa tua yang layak bagi pekerja. Sistem ini perlu segera ditinjau ulang dan digantikan dengan pendekatan baru yang menjamin penerimaan dana pensiun secara penuh (100%) untuk para pensiunan.Karena 80-20 bukan merupakan solusi kompromi untuk dana pensiun. Di tengah naiknya biaya hidup dan ketidakpastian ekonomi, para pensiunan tak lagi bisa bergantung penuh pada sistem yang menyisakan kekosongan di masa tua. Saatnya negara dan pemberi kerja menjamin dana pensiun penuh—bukan sebagian.

Sebab Skema pembagian dana pensiun dengan komposisi 80-20, di mana beban kontribusi atau manfaat tidak sepenuhnya ditanggung oleh negara atau pemberi kerja, adalah bentuk ketidakadilan struktural terhadap pekerja. Dalam banyak kasus, 80% dana pensiun ditanggung oleh institusi (misalnya pemerintah atau perusahaan), sementara 20% sisanya harus ditanggung oleh pekerja melalui pemotongan gaji atau iuran wajib. Ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa beban masa tua harus dibagi, padahal kontribusi kerja telah diberikan penuh selama masa produktif?

Pertama, dana pensiun seharusnya menjadi hak, bukan beban lanjutan. Seorang pekerja, setelah puluhan tahun memberikan tenaga dan produktivitasnya, semestinya menerima jaminan hari tua tanpa harus terus 'membayar' demi keamanan finansialnya. Sistem 80-20 menyiratkan bahwa pensiun adalah hasil dari tanggung jawab bersama, padahal yang paling diuntungkan dari produktivitas pekerja selama ini adalah institusi itu sendiri.

Kedua, realitas biaya hidup yang terus meningkat membuat kontribusi 20% terasa semakin memberatkan, terutama bagi pekerja dengan upah rendah hingga menengah. Ketika potongan pensiun dipungut sejak awal masa kerja, beban itu terasa setiap bulan, dan belum tentu hasil akhirnya menjamin kesejahteraan ketika pensiun tiba. Artinya, bukan hanya tidak adil, sistem ini juga tidak cukup efektif secara sosial.

Ketiga, skema ini berisiko memperlebar ketimpangan sosial di masa pensiun. Pekerja di sektor informal atau yang tidak mampu memenuhi porsi 20%-nya akan cenderung memiliki jaminan pensiun yang sangat rendah, atau bahkan tidak memiliki akses sama sekali. Padahal, masa tua adalah masa paling rentan secara ekonomi dan kesehatan. Apakah adil jika hanya mereka yang sanggup membayar lebih yang bisa hidup layak di masa pensiun?

Oleh karena itu, sudah saatnya semua pemangku kepentingan mengoreksi sistem ini. Dana pensiun seharusnya diberikan 100% oleh negara atau pemberi kerja sebagai bentuk tanggung jawab dan penghargaan atas pengabdian para pekerja. Reformasi kebijakan dana pensiun tidak hanya soal angka, tapi tentang keadilan dan kemanusiaan. Beberapa fakta dan data pendukung bahwa;

· Tingkat Penghasilan Pensiun di Indonesia Rendah:Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tingkat penghasilan pensiun atau replacement ratio income di Indonesia hanya sekitar 15% dari total penghasilan. Idealnya, angka ini mencapai sekitar 40% sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh International Labour Organization (ILO)

· Rendahnya Akses Pekerja terhadap Dana Pensiun:Data menunjukkan bahwa hanya sekitar 20% pekerja di Indonesia yang memiliki akses ke dana pensiun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja tidak memiliki jaminan keuangan yang memadai di masa pensiun

· Kontribusi Dana Pensiun terhadap PDB Masih Terbatas:Aset dana pensiun di Indonesia hanya berkontribusi sekitar 6,73% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal, potensi kontribusi dana pensiun bisa mencapai 20% dari PDB pada tahun 2028 nanti, yang setara dengan sekitar Rp. 6.688 triliun

Syarif Yunus, Direktur Eksekutif Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK), menyatakan bahwa untuk mencapai rasio manfaat pensiun sebesar 40% dari upah terakhir, diperlukan tiga faktor utama: besaran iuran, lamanya menjadi peserta DPLK, dan hasil investasi. Namun, tingkat pengembalian investasi atau return on investment (ROI) dana pensiun dalam lima tahun terakhir cenderung menurun, sehingga tantangan untuk mencapai rasio tersebut semakin besar.

Contoh kasus, jika Seorang pekerja dengan gaji bulanan Rp. 5.000.000 dan kontribusi dana pensiun sebesar 20% akan menyisihkan Rp. 1.000.000 setiap bulan. Dalam 30 tahun masa kerja, total kontribusi yang terkumpul adalah Rp. 360.000.000. Namun, jika tingkat pengembalian investasi rendah, jumlah tersebut mungkin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di masa pensiun.

Sehingga Skema pembagian dana pensiun 80-20 tidak adil karena membebani pekerja secara finansial dan tidak menjamin kesejahteraan di masa pensiun. Maka diperlukan reformasi kebijakan untuk memastikan bahwa dana pensiun menjadi hak pekerja yang harus dipenuhi oleh negara atau pemberi kerja, bukan beban tambahan bagi pekerja itu sendiri.

Isu ketidakadilan dana pensiun 80-20 merujuk pada ketimpangan distribusi dana pensiun, di mana 80% dana pensiun dinikmati oleh hanya 20% pensiunan, sedangkan sisanya 80% pensiunan hanya mendapat bagian kecil dari total dana yang tersedia. Ini adalah manifestasi dari prinsip Pareto dalam konteks ketidaksetaraan kesejahteraan pensiunan.

Kondisi ini akan menciptakan masalah utama seperti halnya. Ketimpangan alokasi: Pensiunan dari jabatan tinggi menerima dana sangat besar, sementara pekerja rendahan menerima jauh lebih sedikit. Lalu Sistem pensiun tidak inklusif: Banyak pekerja informal atau kontrak tidak mendapat jaminan pensiun sama sekali. Selanjutnya Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pensiun. Dan Formula penghitungan yang tidak adil: Biasanya dihitung dari persentase gaji terakhir, bukan kontribusi selama masa kerja.

Sebagai Saran dan Solusi.Reformasi sistem pensiun nasional:Terapkan sistem pensiun berbasis kontribusi riil, bukan hanya jabatan dan Pastikan adanya pensiun minimum yang layak untuk semua pensiunan.Peningkatan transparansi:dilakukanAudit publik dan laporan berkala dari lembaga pengelola dana pensiun dan Libatkan serikat pekerja dalam pengawasan.Diversifikasi skema pensiun:Kombinasikan pension pay-as-you-go (dibiayai generasi pekerja aktif) dengan private retirement savings dan Dorong pekerja informal masuk ke dalam sistem melalui subsidi atau insetif pajak.Pendidikan keuangan untuk pekerja:Agar memahami pentingnya investasi pensiun sejak dini dan Sediakan akses untuk simulasi dana pensiun secara transparan.

Harapan.Pensiun yang adil dan berkelanjutan, di mana semua pekerja—baik formal, informal, rendah, atau tinggi—mendapat perlindungan hari tua yang layak.Negara hadir sebagai pengatur dan pelindung, bukan hanya fasilitator pasar.Terbentuknya kesadaran kolektif bahwa kesejahteraan pensiun bukan hanya hak istimewa elite, tapi hak dasar pekerja.

Postingan Terbaru