Oleh-Oleh Studi Tiru Bali: Menjaga Roh Ukiran Kamoro dan "Mantra" Kualitas Pasar



GIANYAR, papuamctv.com – Kegiatan studi tiru yang digelar oleh Dinas Koperasi dan UMKM (Diskop UMKM) bersama Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Mimika ke Bali baru-baru ini bukan sekadar perjalanan wisata. Bagi Ketua Asosiasi UMKM Mimika, Elisabeth Imelda Rahawarin, perjalanan ini membuka mata tentang strategi krusial yang harus segera diterapkan di Tanah Amungsa dan Bumi Kamoro: menjaga roh tradisi sembari berdamai dengan selera pasar.

Dalam refleksinya, Elisabeth menekankan bahwa poin utama yang patut ditiru dari para pengrajin Bali bukanlah sekadar bentuk kerajinannya, melainkan semangat militan dalam menjaga keaslian budaya. Di Mimika, seni ukir masih menjadi napas bagi suku Kamoro, namun tantangannya kian nyata.

"Pasar itu sebenarnya mencari yang original, bukan hasil teknologi. Di Papua, ukiran itu hidup karena ada 'roh'-nya, ada totem-totemnya. Ini yang harus kita jaga," ungkap Elisabeth.

Ia memetakan pengrajin Kamoro ke dalam dua kelompok besar. Kelompok Bapak Samin di SP6 (Iwaka) yang masih memegang teguh pakem leluhur dan tradisi sakral, serta kelompok Bapak Anakletus Wokateo yang mulai berani bermain dengan pewarnaan modern.

Elisabeth menyoroti betapa sakralnya proses mengukir bagi kelompok tradisional. "Di SP6 atau Nawaripi, saat musim mengukir barang sakral, pengrajin itu masuk ke hutan. Menjauh dari hiruk-pikuk modernisasi agar tidak kena 'tulah'. Kesakralan inilah nilai mahal yang harus dilindungi pemerintah," tegasnya.

Salah satu tantangan terbesar UMKM kriya di Mimika adalah resistensi pengrajin terhadap masukan mengenai kerapian dan finishing. Seringkali, saran dari asosiasi lokal dianggap angin lalu karena dianggap "bukan sesama pengrajin".

Belajar dari Bali, Elisabeth mengusulkan strategi baru: Mendatangkan pelatih eksternal.

"Kita butuh orang luar, seperti pengrajin Bali ini, untuk memberikan 'doktrin' positif. Kalau mereka yang bicara soal kerapian, pengamplasan detail, dan keserasian warna, pengrajin kita lebih mau mendengar. Karena pelatih ini bicara berdasarkan bukti kesuksesan menembus pasar dunia," jelasnya.

Ia mencontohkan bagaimana pengrajin Bali mampu beradaptasi. Awalnya hanya membuat patung Garuda, namun ketika pasar meminta desain lain, mereka menyesuaikan tanpa kehilangan identitas. Fleksibilitas inilah yang ingin ditularkan kepada mama-mama pengrajin anyaman (Noken) di Mimika.

Berbeda dengan ukiran yang memiliki pakem adat ketat, seni anyaman atau Noken dinilai lebih luwes untuk dimodifikasi sesuai tren fashion.

"Mama-mama Kamoro itu jagonya menganyam. Pelatih bilang butuh 7 hari, saya yakin mama-mama kita 5 hari sudah bisa karena dasarnya sudah kuat. Tinggal dipoles kerapiannya agar tidak kalah saing saat dipajang," ujar Elisabeth optimis.

Namun, kekhawatiran terbesar tetap pada regenerasi. Elisabeth menyarankan pemerintah daerah untuk mulai memasukkan seni ukir dan anyaman ke dalam ekstrakurikuler sekolah. Tujuannya bukan hanya untuk anak asli Kamoro, tetapi untuk siapa saja yang lahir dan besar di tanah Papua agar memiliki rasa memiliki (sense of belonging) terhadap budaya tersebut.

Studi tiru ini pada akhirnya bertujuan menyatukan persepsi antara Dekranasda dan Asosiasi UMKM. Mimpinya sederhana namun bertenaga: Menciptakan ekosistem di mana produk Mimika bisa "terbang" ke luar negeri, meski pengrajinnya tetap berkarya di kampung halaman.

"Di Bali, orangnya tidak harus ke Amerika atau Jerman, tapi produknya yang sampai ke sana. Itu target kita. Kita ingin pengrajin semangat mengukir dan menganyam karena tahu pasarnya ada dan menghargai karya mereka yang rapi dan berkualitas," pungkas Elisabeth.

Dengan kolaborasi yang solid antara pemerintah, asosiasi, dan pelibatan mentor ahli, harapan agar ukiran Kamoro menghiasi ruang publik dan anyaman Mimika menjadi tren global, bukanlah hal yang mustahil. (HK)

Postingan Terbaru